Senin, 30 April 2012

Journey - Part 3 : Mom and Dad

JOURNEY
Part 3 : Mom and Dad     
                                                                                                                
“Tapi, suatu hari ia pulang dengan wajah cemberut,” lanjut Suster Ren sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku menatapnya, berharap ia melanjutkan.

“Hari itu, saat ia pertama kali bertemu dengan ayahmu…”

Suster Ren mulai bercerita. Saat itu tidak biasanya ibu pulang dengan wajah murung. Suster Ren sebagai sahabat tentu saja menanyakan sebab itu pada ibu. Ibu mengatakan bahwa ia bertemu dengan seorang Assassin yang terus-terusan mengganggunya membunuh orc zombie di Orc Dungeon. 

Karena banyaknya orc zombie, seringkali ibu harus bersembunyi dari mereka, menunggu waktu yang tepat untuk membunuh mereka. Namun saat itu si Assassin muncul dan menyerang monster-monster itu. Meski kesal, ibu memaklumi keadaannya. Tentu saja kemampuan Assassin dan Acolyte sangat berbeda jauh, jadi wajar saja bila Assassin secara langsung menyerang monster-monster itu. Saat ibu akan beranjak pergi, Assassin yang sedang sibuk menyerang monster itu justru memanggilnya.

“Hey, Mademoiselle mau kemana kau ~ Bukankah ini buruanmu?”

Tentu saja ibu terkejut. Jadi Assassin itu tahu ia bersembunyi dan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang monster dan masih saja mengganggunya?!

“Nah…” Assassin itu berhenti menyerang, menyisakan satu orc zombie dari 5 orc zombie yang ada. "Giliranmu, Mademoiselle…”

Ibu terdiam, kebingungan dengan ulah Assassin itu.

“Ah, lambat sekali kau Mademoiselle. Bukankah orc ini buruanmu? Cepat serang dia, sebelum aku mati kebosanan melihat orc ini tak kunjung mengenaiku,” sahut Assassin itu lagi sambil menguap dan menggaruk kepalanya, berlagak seolah dia bosan.

‘Benar-benar mengesalkan orang itu! Apa maksudnya?!’ itulah pendapat ibu. Namun karena tidak enak bila ia memarahi orang yang baru saja ia temui, ibu hanya tersenyum dan berkata,
“Ambillah orc itu, aku akan mencari orc lain”

Ibu berjalan pergi meninggalkan Assassin itu yang sesaat kemudian berseru meminta ibu untuk menunggunya. Ibu tidak begitu mempedulikannya, karena ibu terlalu lelah untuk berdebat.
Ibu terus berjalan hingga melihat 1 orc zombie sendirian. Ia segera berlari ke arahnya dan melakukan serangan dengan Heal.

Tiba-tiba saja, ia mendengar suara dari belakangnya.

“Wow, Mademoiselle…Kau sungguh tak sopan. Tadi aku mencoba membantumu dan kau malah pergi.”

Ibu terkejut mendengar suara itu dan menoleh. Assassin itu lagi. Kenapa dia ada disini? Apa ia mengikutiku?

Kelengahan ibu membuat Orc Zombie itu menyerangnya. Ia baru teringat bahwa healing potionnya telah habis, dan segera melakukan Heal pada dirinya. Namun, karena SP ibu yang tinggal sedikit, ibu tidak mampu mengimbangi serangan zombie itu.

Ibu terus melakukan heal, meski menyadari ini pasti tidak akan berakhir. Ia sama sekali tidak bisa memikirkan jalan lain, kecuali…

“Ya… ya… sudah waktunya seorang gentleman sepertiku menawarkan bantuannya,” sahut Assassin itu tiba-tiba sambil tertawa geli melihat ulah ibu dan zombie. Assassin ini seperti membaca pikiran yang saat itu ada di benak ibu.

Assassin itu berdiri tegak dan bertanya dengan sopan, “Apakah Anda berkenan untuk saya bantu, Mademoiselle?”

Karena tak melihat jalan lain, ibu mengiyakan tawaran Assassin itu. Dan dengan segera, Assassin itu menyerang orc. Dalam sekejap, orc itu kalah.

Ibu terduduk lemas, lega ia masih bisa selamat. Meski harus dibantu oleh Assassin macam itu.
“Wah, kau terlihat kelelahan Mademoiselle,” Assassin itu tertawa lalu berjongkok didepan ibu.
“Yah… terima kasih telah menolongku, Tuan,” balas ibu yang kemudian segera bangkit dari duduknya, memutuskan untuk keluar dari Dungeon dan beristirahat di pondok pintu masuk Orc Dungeon yang sepi. “Aku harus segera pergi. Sekali lagi terima kasih, Tuan.”

Ibu segera beranjak pergi, sedikit berlari, takut bila ada orc yang mengejarnya.

“Hey, Mademoiselle! Tunggu!” Assassin itu berteriak dan mengikuti ibu.

“Yah, Assassin itu terus mengikuti ibumu sejak saat itu. Saat Helga beristirahat di pondok orc, ia terus berada di sampingnya, berbicara terus-menerus hingga ibumu tak tahan dan tertidur. Dan setelah itu, selama beberapa hari sisanya hingga ibumu kembali kemari, Assassin itu mengikuti ibumu!” ucap Suster Ren sambil tertawa. “Dan percaya atau tidak, yang dilakukan Assassin itu hanya menonton ibumu, memberikan komentar-komentar anehnya yang membuat ibumu kesal.”
Konyol sekali Assassin itu. Suka menggoda ibu, sama seperti…

“Suster Ren, jangan-jangan Assassin itu…”

“Yap! Betul! Ia adalah ayahmu!” Suster Ren tertawa kecil. “Konyol sekali pertemuan mereka bukan? Dan setelah itu, entah bagaimana caranya tiap Helga pergi berlatih, Assassin itu selalu ada di dekatnya, menemaninya kemanapun ia pergi. Sepertinya ayahmu jatuh cinta pada ibumu pada pandangan pertama. Yah, aku mengakui Helga memang sangat cantik.”

Yah, aku ingat ayah pernah berkata padaku bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu ibu…

“Dan beberapa waktu berlalu, cara ibumu menceritakan Assassin konyol bernama Nagi itu pun menjadi berbeda,” kata Suster Ren. Bisa kulihat pandangan matanya menerawang. “Dia semakin antusias menceritakan Nagi. Hingga pada hari itu dia pulang dan bercerita bahwa ia baru saja melakukan party bersama Nagi. Dia menceritakan dengan antusias bagaimana Nagi membunuh monster, bagaimana ekspresi wajah Nagi, candaan Nagi, ia menceritakan semua dengan detail. Hingga aku tak tahan untuk menggodanya.”

’Kau menyukainya kan Helga?’ kataku saat itu pada ibumu. Muka ibumu merah padam. Benar-benar lucu. Dia baru saja menyadari bahwa ia jatuh cinta pada orang yang kemarin dianggap mengganggu olehnya. Well, kita tak bisa menebak kapan cinta itu datang kan?”
Aku mengangguk setuju dalam diam.

“Setelah itu, Helga dan Nagi terus bersama untuk berlatih. Hingga akhirnya, tiba saatnya ibumu harus menentukan job apa yang akan dipilihnya. Ia kembali dan mengatakan pada pastor bahwa ia ingin membantu orang lain dengan menjadi Priest. Dan… seperti yang sudah ditebak, Helga lulus ujian menjadi Priest… Dan tepat saat pengumuman terjadi kehebohan…” Suster Ren menghela nafas.

“Kehebohan?” tanyaku.

“Ya… Seorang Assassin menerobos masuk ke gereja, tanpa sepengetahuan penjaga. Seluruh suster panik karena kami jarang menerima tamu dari thief class, selain itu ia masuk secara diam-diam dan langsung menerobos masuk menuju ruang tes Priest. Itulah ayahmu…” Suster Ren menggeleng-gelengkan kepalanya. “Benar-benar serampangan ayahmu itu. Tentu saja kami semua mengira bahwa ia mengincar pastor.”

“Aku berlari mengikuti ayahmu, yang saat itu aku belum tahu bahwa ia adalah orang yang diceritakan ibumu karena ia memakai tutup kepala dan wajah. Aku saat itu hanya berharap bisa menyelamatkan pastor, meski kemampuan bela diriku tidak seberapa. Tapi ternyata kami salah. Tepat didepan pastor dan ibumu yang telah menggunakan seragam priest, ia berhenti. Tentu saja, pastor dan ibumu terkejut akan kehadirannya. Kemudian ayahmu membuka tudung kepala dan wajahnya. Aku melihat dia, rambut pirang dan bentuk wajahnya. Yakinlah sudah bahwa Assassin ini adalah Nagi yang ibumu ceritakan. Aku ingat betapa lembut ia menatap ibumu saat itu, tersenyum pada ibumu sebentar lalu menatap pastor dan berkata, ‘Maaf atas segala kehebohan ini Bapa… Saya hanya ingin bertemu dengan Helga.’ Dan pastor pun membalas dengan senyuman dan berkata,’Selamat datang anakku, Nagi Yamamoto.’. Ibumu dan aku terkejut mengetahui bahwa pastor mengenal ayahmu, apalagi ibumu yang saat itu belum mengetahui nama belakang ayahmu.”

“Setelah itu pastor memintaku untuk mengambilkan minuman untuk Nagi. Aku tahu, perintah itu menandakan bahwa pastor ingin berbicara bersama ibumu dan ayahmu secara private. Aku tak punya pilihan lain selain menunggu ibumu menceritakan semuanya…”

“Malam itu, ibumu datang ke kamarku. Aku bisa melihat matanya merah, seperti habis menangis. Dan segera akhirnya ia menceritakan semuanya. Bahwa ayahmu adalah keturunan dari klan pembunuh bayaran ternama, Klan Yamamoto. Pastor mengenalnya saat ia masih menjadi novice dan saat itu pastor sering mengunjungi kota Morroc untuk memberikan ceramahnya. Nagi juga berkata bahwa ayahnya telah meninggal beberapa tahun lalu dan kini ia adalah pemimpin dari klan pembunuh bayaran itu. Nagi secara jujur mengatakan, bahwa ia baru saja selesai menyelesaikan tugasnya saat bertemu ibumu.”

“Ibumu terkejut saat itu, tentu saja. Tapi ia tak tahu harus berkata apa, saat itu juga ia merasa bahwa ia telah salah untuk mencintai Nagi. Ibumu memutuskan untuk berpamitan dan meninggalkan pastor dan Nagi lalu menuju kamarku. Setelah itu ibumu menangis sejadi-jadinya hingga diketuklah pintu kamarku. Ibumu segera menghapus air matanya dan aku pun membukakan pintu. Pastor ada didepan pintu, bersama dengan Nagi. Aku tak bisa membohongi diriku untuk tidak menatap Nagi dengan sinis. Namun pastor tersenyum padaku, menanyakan keberadaan Helga dan apakah aku mengijinkannya untuk masuk.”

“Tentu saja aku mengijinkan mereka berdua masuk. Pastor sekali lagi memintaku untuk meninggalkan mereka. Namun kali ini aku menolak. Aku bersikeras untuk tinggal dengan alasan Helga adalah sahabatku dan itu adalah kamarku” Suster Ren tertawa kecil.

“Pastor mengijinkanku tinggal pada akhirnya. Mereka masuk dan aku pun segera menutup pintu. Pastor duduk di sebelah Helga sementara aku dan Nagi berdiri bersebelahan di depan pintu. Pastor membelai rambut Helga dan tersenyum sambil menanyakan, ‘Apakah kamu mencintai Nagi, wahai anakku?’. Kami terkejut dengan pertanyaan pastor itu. Aku melirik Nagi dengan sengit. Apa maksud semua ini? Aku melihat Helga dan kulihat ia memeluk pastor dan menangis. Aku melihat Nagi mencoba bergerak mendekatinya, namun buru-buru kulirik ia sengit. Aku hanya berpikir tak akan kubiarkan pembunuh bayaran sepertinya mendekati ibumu. Dan menyadari pandanganku, ia mengurungkan niatnya. Aku kembali memandang pastor dan Helga. ‘Maaf Bapa… Aku berjanji, aku akan melupakannya. Aku ingin tetap disini Bapa. Membantu umat manusia bersama kalian semua!’

“Yah, aku tahu betul. Ibumu adalah putri bangsawan dari negeri Arunafeltz yang jauh. Nenekmu meninggal karena mencoba menolong ibumu saat mereka dikejar oleh sekelompok Assassin pembunuh bayaran. Aku bisa membayangkan betapa bencinya ibumu pada Assassin pembunuh bayaran. Aku bisa melihat dari sudut mataku saat itu, Nagi tertunduk sedih. Lalu kulihat Pastor kembali membelai rambut Helga dan berkata, ‘Nak, aku tahu perasaanmu. Tapi bukankah tidak semua manusia sama?’. Saat itu aku teringat pula bahwa aku pernah menanyakan hal itu pada Helga saat ia mengatakan bahwa ia memang mencintai Nagi, dan pertanyaan pastor itu adalah jawabannya. Saat itu pula Helga berhenti menangis. ‘Nagi berbeda, Nak… Ia tidak seperti keluarganya.’

“Pastor kemudian memanggil Nagi untuk mendekat. Aku tak bisa melarangnya lagi. Pastor memintanya untuk berbicara. Ia bersimpun di hadapan Helga dan berkata, ‘Maaf, Helga…Sebelumnya aku harus jujur, bahwa yang membunuh ibumu adalah adik dari ayahku, Paman Pierre, atas perintah almarhum ayahku…’. Ibumu tersontak kaget dan terlihat hampir menangis. ‘Sejak beliau meninggal, aku memang meneruskan kelangsungan klan Yamamoto sebagai klan pembunuh bayaran. Namun, aku memiliki pandangan yang berbeda sejak bertemu denganmu,’

“Aku dan ibumu memandang tak percaya, sementara Pastor hanya tersenyum. Nagi pun melanjutkan, ‘Dari kebersamaan kita, caramu menceritakan pandanganmu soal hidup dan keadilan… Membuatku ingin menghentikan semua ini. Saat kita terakhir bertemu, apakah kau masih ingat aku bertanya mengenai pandanganmu tentang Assassin yang selama ini selalu ditakuti? Kau mengatakan padaku bahwa tidak semua orang sama… Aku pun berpikir, mungkin aku harus mengatakan padamu mengenai jati diriku sebenarnya.’ Aku terkagum bagaimana cara Nagi dan ibumu saling memandang satu sama lain. Aku bisa merasakan ikatan emosional yang kuat diantara mereka. Betapa mereka terlihat saling mencintai satu sama lain…”

“ Lalu Nagi kembali berkata, ‘Aku ingin memberimu kejutan dengan datang kemari saat kau menjadi Priest. Aku tahu Bapa Evans adalah pastor yang menguji acolyte yang akan menjadi priest, dan aku yakin beliau akan lebih mengerti situasiku… Namun keadaan kembali berubah saat kau berlari pergi di tengah pembicaraan tadi, dan pastor menceritakan keadaan keluargamu padaku… Karena itulah, aku memutuskan untuk mengatakan ini padamu, Helga…’ Nagi mengambil tangan Helga, menggenggam erat tangannya. ‘Aku mencintaimu, Helga… Aku ingin bersamamu selamanya hingga maut memisahkan kita dan aku ingin bersamamu merubah dan membangun kembali Klan Yamamoto…’ Aku dan ibumu terkejut dengan pernyataan itu, sementara Pastor hanya tersenyum, seolah mengerti segalanya. Wajah ibumu memerah, seperti biasanya.” Suster Ren tertawa kecil, tapi aku bisa melihat setitik air mata di sudut matanya. Apakah Suster Ren sedih mengingat ibu?

“Nagi kembali melanjutkan, mengatakan bahwa memang bukanlah tugas yang mudah untuk mengubah sebuah klan yang sudah lama ada. Nagi juga berkata bahwa ia tak akan memaksa Helga untuk bersamanya, Nagi hanya ingin mengetahui bagaimana perasaan Helga terhadapnya. Dan akhirnya Helga membalas genggaman tangan Nagi sambil tersenyum lalu berkata, ‘Aku bersedia, Nagi… Bersamamu… Aku mencintaimu…’

-TBC-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar