JOURNEY
Part
3 : Mom and Dad
“Tapi, suatu hari ia pulang dengan wajah cemberut,”
lanjut Suster Ren sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku menatapnya,
berharap ia melanjutkan.
“Hari itu, saat ia pertama kali bertemu dengan
ayahmu…”
Suster Ren mulai bercerita. Saat itu tidak biasanya
ibu pulang dengan wajah murung. Suster Ren sebagai sahabat tentu saja menanyakan
sebab itu pada ibu. Ibu mengatakan bahwa ia bertemu dengan seorang Assassin
yang terus-terusan mengganggunya membunuh orc zombie di Orc Dungeon.
Karena
banyaknya orc zombie, seringkali ibu harus bersembunyi dari mereka, menunggu
waktu yang tepat untuk membunuh mereka. Namun saat itu si Assassin muncul dan
menyerang monster-monster itu. Meski kesal, ibu memaklumi keadaannya. Tentu
saja kemampuan Assassin dan Acolyte sangat berbeda jauh, jadi wajar saja bila
Assassin secara langsung menyerang monster-monster itu. Saat ibu akan beranjak
pergi, Assassin yang sedang sibuk menyerang monster itu justru memanggilnya.
“Hey,
Mademoiselle mau kemana kau ~ Bukankah ini
buruanmu?”
Tentu saja ibu terkejut. Jadi Assassin itu tahu ia
bersembunyi dan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang monster dan masih
saja mengganggunya?!
“Nah…” Assassin itu berhenti menyerang, menyisakan
satu orc zombie dari 5 orc zombie yang ada. "Giliranmu, Mademoiselle…”
Ibu terdiam, kebingungan
dengan ulah Assassin itu.
“Ah, lambat sekali kau Mademoiselle. Bukankah orc
ini buruanmu? Cepat serang dia, sebelum aku mati kebosanan melihat orc ini tak
kunjung mengenaiku,” sahut
Assassin itu lagi sambil menguap dan menggaruk kepalanya, berlagak seolah dia
bosan.
‘Benar-benar mengesalkan orang itu! Apa maksudnya?!’ itulah pendapat ibu. Namun karena tidak enak bila
ia memarahi orang yang baru saja ia temui, ibu hanya tersenyum dan berkata,
“Ambillah orc itu, aku akan mencari orc lain”
Ibu berjalan pergi
meninggalkan Assassin itu yang sesaat kemudian berseru meminta ibu untuk
menunggunya. Ibu tidak begitu mempedulikannya, karena ibu terlalu lelah untuk
berdebat.
Ibu terus berjalan hingga
melihat 1 orc zombie sendirian. Ia segera berlari ke arahnya dan melakukan
serangan dengan Heal.
Tiba-tiba saja, ia
mendengar suara dari belakangnya.
“Wow, Mademoiselle…Kau sungguh tak sopan. Tadi aku
mencoba membantumu dan kau malah pergi.”
Ibu terkejut mendengar
suara itu dan menoleh. Assassin itu lagi. Kenapa dia ada disini? Apa ia
mengikutiku?
Kelengahan ibu membuat Orc
Zombie itu menyerangnya. Ia baru teringat bahwa healing potionnya telah habis,
dan segera melakukan Heal pada dirinya. Namun, karena SP ibu yang tinggal
sedikit, ibu tidak mampu mengimbangi serangan zombie itu.
Ibu terus melakukan heal,
meski menyadari ini pasti tidak akan berakhir. Ia sama sekali tidak bisa
memikirkan jalan lain, kecuali…
“Ya… ya… sudah waktunya
seorang gentleman sepertiku menawarkan bantuannya,” sahut Assassin itu
tiba-tiba sambil tertawa geli melihat ulah ibu dan zombie. Assassin ini seperti
membaca pikiran yang saat itu ada di benak ibu.
Assassin itu berdiri tegak
dan bertanya dengan sopan, “Apakah Anda
berkenan untuk saya bantu, Mademoiselle?”
Karena tak melihat jalan
lain, ibu mengiyakan tawaran Assassin itu. Dan dengan segera, Assassin itu
menyerang orc. Dalam sekejap, orc itu kalah.
Ibu terduduk lemas, lega
ia masih bisa selamat. Meski harus dibantu oleh Assassin macam itu.
“Wah, kau terlihat kelelahan Mademoiselle,” Assassin itu tertawa lalu berjongkok didepan ibu.
“Yah… terima kasih telah menolongku, Tuan,” balas ibu yang kemudian segera bangkit dari
duduknya, memutuskan untuk keluar dari Dungeon dan beristirahat di pondok pintu
masuk Orc Dungeon yang sepi. “Aku harus segera pergi. Sekali lagi terima kasih,
Tuan.”
Ibu segera beranjak pergi,
sedikit berlari, takut bila ada orc yang mengejarnya.
“Hey, Mademoiselle! Tunggu!” Assassin itu berteriak dan mengikuti ibu.
“Yah, Assassin itu terus
mengikuti ibumu sejak saat itu. Saat Helga beristirahat di pondok orc, ia terus
berada di sampingnya, berbicara terus-menerus hingga ibumu tak tahan dan
tertidur. Dan setelah itu, selama beberapa hari sisanya hingga ibumu kembali
kemari, Assassin itu mengikuti ibumu!” ucap Suster Ren sambil tertawa. “Dan
percaya atau tidak, yang dilakukan Assassin itu hanya menonton ibumu,
memberikan komentar-komentar anehnya yang membuat ibumu kesal.”
Konyol sekali Assassin
itu. Suka menggoda ibu, sama seperti…
“Suster Ren, jangan-jangan
Assassin itu…”
“Yap! Betul! Ia adalah
ayahmu!” Suster Ren tertawa kecil. “Konyol sekali pertemuan mereka bukan? Dan
setelah itu, entah bagaimana caranya tiap Helga pergi berlatih, Assassin itu
selalu ada di dekatnya, menemaninya kemanapun ia pergi. Sepertinya ayahmu jatuh
cinta pada ibumu pada pandangan pertama. Yah, aku mengakui Helga memang sangat
cantik.”
Yah, aku ingat ayah pernah
berkata padaku bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu ibu…
“Dan beberapa waktu
berlalu, cara ibumu menceritakan Assassin konyol bernama Nagi itu pun menjadi
berbeda,” kata Suster Ren. Bisa kulihat pandangan matanya menerawang. “Dia
semakin antusias menceritakan Nagi. Hingga pada hari itu dia pulang dan
bercerita bahwa ia baru saja melakukan party bersama Nagi. Dia menceritakan
dengan antusias bagaimana Nagi membunuh monster, bagaimana ekspresi wajah Nagi,
candaan Nagi, ia menceritakan semua dengan detail. Hingga aku tak tahan untuk
menggodanya.”
“’Kau menyukainya kan Helga?’ kataku saat itu pada ibumu. Muka ibumu
merah padam. Benar-benar lucu. Dia baru saja menyadari bahwa ia jatuh cinta
pada orang yang kemarin dianggap mengganggu olehnya. Well, kita tak bisa
menebak kapan cinta itu datang kan?”
Aku mengangguk setuju
dalam diam.
“Setelah itu, Helga dan
Nagi terus bersama untuk berlatih. Hingga akhirnya, tiba saatnya ibumu harus
menentukan job apa yang akan dipilihnya. Ia kembali dan mengatakan pada pastor
bahwa ia ingin membantu orang lain dengan menjadi Priest. Dan… seperti yang
sudah ditebak, Helga lulus ujian menjadi Priest… Dan tepat saat pengumuman
terjadi kehebohan…” Suster Ren menghela nafas.
“Kehebohan?” tanyaku.
“Ya… Seorang Assassin
menerobos masuk ke gereja, tanpa sepengetahuan penjaga. Seluruh suster panik
karena kami jarang menerima tamu dari thief class, selain itu ia masuk secara
diam-diam dan langsung menerobos masuk menuju ruang tes Priest. Itulah ayahmu…”
Suster Ren menggeleng-gelengkan kepalanya. “Benar-benar serampangan ayahmu itu.
Tentu saja kami semua mengira bahwa ia mengincar pastor.”
“Aku berlari mengikuti ayahmu,
yang saat itu aku belum tahu bahwa ia adalah orang yang diceritakan ibumu
karena ia memakai tutup kepala dan wajah. Aku saat itu hanya berharap bisa
menyelamatkan pastor, meski kemampuan bela diriku tidak seberapa. Tapi ternyata
kami salah. Tepat didepan pastor dan ibumu yang telah menggunakan seragam
priest, ia berhenti. Tentu saja, pastor dan ibumu terkejut akan kehadirannya. Kemudian
ayahmu membuka tudung kepala dan wajahnya. Aku melihat dia, rambut pirang dan
bentuk wajahnya. Yakinlah sudah bahwa Assassin ini adalah Nagi yang ibumu
ceritakan. Aku ingat betapa lembut ia menatap ibumu saat itu, tersenyum pada
ibumu sebentar lalu menatap pastor dan berkata, ‘Maaf atas segala kehebohan ini Bapa… Saya hanya ingin bertemu dengan
Helga.’ Dan pastor pun membalas dengan senyuman dan berkata,’Selamat datang anakku, Nagi Yamamoto.’. Ibumu
dan aku terkejut mengetahui bahwa pastor mengenal ayahmu, apalagi ibumu yang
saat itu belum mengetahui nama belakang ayahmu.”
“Setelah itu pastor memintaku untuk mengambilkan minuman untuk Nagi. Aku tahu, perintah itu menandakan bahwa pastor ingin berbicara bersama ibumu dan ayahmu secara private. Aku tak punya pilihan lain selain menunggu ibumu menceritakan semuanya…”
“Malam itu, ibumu datang
ke kamarku. Aku bisa melihat matanya merah, seperti habis menangis. Dan segera
akhirnya ia menceritakan semuanya. Bahwa ayahmu adalah keturunan dari klan
pembunuh bayaran ternama, Klan Yamamoto. Pastor mengenalnya saat ia masih
menjadi novice dan saat itu pastor sering mengunjungi kota Morroc untuk
memberikan ceramahnya. Nagi juga berkata bahwa ayahnya telah meninggal beberapa
tahun lalu dan kini ia adalah pemimpin dari klan pembunuh bayaran itu. Nagi
secara jujur mengatakan, bahwa ia baru saja selesai menyelesaikan tugasnya saat
bertemu ibumu.”
“Ibumu terkejut saat itu,
tentu saja. Tapi ia tak tahu harus berkata apa, saat itu juga ia merasa bahwa
ia telah salah untuk mencintai Nagi. Ibumu memutuskan untuk berpamitan dan
meninggalkan pastor dan Nagi lalu menuju kamarku. Setelah itu ibumu menangis
sejadi-jadinya hingga diketuklah pintu kamarku. Ibumu segera menghapus air
matanya dan aku pun membukakan pintu. Pastor ada didepan pintu, bersama dengan
Nagi. Aku tak bisa membohongi diriku untuk tidak menatap Nagi dengan sinis.
Namun pastor tersenyum padaku, menanyakan keberadaan Helga dan apakah aku
mengijinkannya untuk masuk.”
“Tentu saja aku
mengijinkan mereka berdua masuk. Pastor sekali lagi memintaku untuk
meninggalkan mereka. Namun kali ini aku menolak. Aku bersikeras untuk tinggal
dengan alasan Helga adalah sahabatku dan itu adalah kamarku” Suster Ren tertawa
kecil.
“Pastor mengijinkanku
tinggal pada akhirnya. Mereka masuk dan aku pun segera menutup pintu. Pastor
duduk di sebelah Helga sementara aku dan Nagi berdiri bersebelahan di depan
pintu. Pastor membelai rambut Helga dan tersenyum sambil menanyakan, ‘Apakah
kamu mencintai Nagi, wahai anakku?’. Kami terkejut dengan pertanyaan pastor
itu. Aku melirik Nagi dengan sengit. Apa maksud semua ini? Aku melihat Helga
dan kulihat ia memeluk pastor dan menangis. Aku melihat Nagi mencoba bergerak
mendekatinya, namun buru-buru kulirik ia sengit. Aku hanya berpikir tak akan
kubiarkan pembunuh bayaran sepertinya mendekati ibumu. Dan menyadari
pandanganku, ia mengurungkan niatnya. Aku kembali memandang pastor dan Helga. ‘Maaf Bapa… Aku berjanji, aku akan
melupakannya. Aku ingin tetap disini Bapa. Membantu umat manusia bersama kalian
semua!’“
“Yah, aku tahu betul.
Ibumu adalah putri bangsawan dari negeri Arunafeltz yang jauh. Nenekmu
meninggal karena mencoba menolong ibumu saat mereka dikejar oleh sekelompok
Assassin pembunuh bayaran. Aku bisa membayangkan betapa bencinya ibumu pada
Assassin pembunuh bayaran. Aku bisa melihat dari sudut mataku saat itu, Nagi tertunduk
sedih. Lalu kulihat Pastor kembali membelai rambut Helga dan berkata, ‘Nak, aku
tahu perasaanmu. Tapi bukankah tidak semua manusia sama?’. Saat itu aku
teringat pula bahwa aku pernah menanyakan hal itu pada Helga saat ia mengatakan
bahwa ia memang mencintai Nagi, dan pertanyaan pastor itu adalah jawabannya.
Saat itu pula Helga berhenti menangis. ‘Nagi berbeda, Nak… Ia tidak seperti
keluarganya.’”
“Pastor kemudian memanggil
Nagi untuk mendekat. Aku tak bisa melarangnya lagi. Pastor memintanya untuk berbicara.
Ia bersimpun di hadapan Helga dan berkata, ‘Maaf, Helga…Sebelumnya aku harus
jujur, bahwa yang membunuh ibumu adalah adik dari ayahku, Paman Pierre, atas
perintah almarhum ayahku…’. Ibumu tersontak kaget dan terlihat hampir menangis.
‘Sejak beliau meninggal, aku memang meneruskan kelangsungan klan Yamamoto
sebagai klan pembunuh bayaran. Namun, aku memiliki pandangan yang berbeda sejak
bertemu denganmu,’”
“Aku dan ibumu memandang
tak percaya, sementara Pastor hanya tersenyum. Nagi pun melanjutkan, ‘Dari
kebersamaan kita, caramu menceritakan pandanganmu soal hidup dan keadilan…
Membuatku ingin menghentikan semua ini. Saat kita terakhir bertemu, apakah kau
masih ingat aku bertanya mengenai pandanganmu tentang Assassin yang selama ini
selalu ditakuti? Kau mengatakan padaku bahwa tidak semua orang sama… Aku pun
berpikir, mungkin aku harus mengatakan padamu mengenai jati diriku sebenarnya.’
Aku terkagum bagaimana cara Nagi dan ibumu saling memandang satu sama lain. Aku
bisa merasakan ikatan emosional yang kuat diantara mereka. Betapa mereka
terlihat saling mencintai satu sama lain…”
“ Lalu Nagi kembali
berkata, ‘Aku ingin memberimu kejutan dengan datang kemari saat kau menjadi
Priest. Aku tahu Bapa Evans adalah pastor yang menguji acolyte yang akan
menjadi priest, dan aku yakin beliau akan lebih mengerti situasiku… Namun
keadaan kembali berubah saat kau berlari pergi di tengah pembicaraan tadi, dan
pastor menceritakan keadaan keluargamu padaku… Karena itulah, aku memutuskan
untuk mengatakan ini padamu, Helga…’ Nagi mengambil tangan Helga, menggenggam
erat tangannya. ‘Aku mencintaimu, Helga… Aku ingin bersamamu selamanya hingga
maut memisahkan kita dan aku ingin bersamamu merubah dan membangun kembali Klan
Yamamoto…’ Aku dan ibumu terkejut dengan pernyataan itu, sementara Pastor hanya
tersenyum, seolah mengerti segalanya. Wajah ibumu memerah, seperti biasanya.”
Suster Ren tertawa kecil, tapi aku bisa melihat setitik air mata di sudut
matanya. Apakah Suster Ren sedih mengingat ibu?
“Nagi kembali melanjutkan,
mengatakan bahwa memang bukanlah tugas yang mudah untuk mengubah sebuah klan
yang sudah lama ada. Nagi juga berkata bahwa ia tak akan memaksa Helga untuk
bersamanya, Nagi hanya ingin mengetahui bagaimana perasaan Helga terhadapnya.
Dan akhirnya Helga membalas genggaman tangan Nagi sambil tersenyum lalu
berkata, ‘Aku bersedia, Nagi… Bersamamu…
Aku mencintaimu…’”
-TBC-